#my second life#

#my second life#

Sabtu, 11 April 2015

The Story of : "Dimana Sandal Jepitku ?"

cerita ini sengaja ditulis bukan semata-mata untuk menghakimi seseorang. Cerita ini ditulis sebagai bentuk muhasabah diri saya pribadi sebagai seorang perempuan yang nantinya kelak akan menjadi sebaik-baik sekolah pertama untuk anak-anak ke depannya.

Kejadian ini terjadi di sekolah ku. Mungkin karena memang sekolah ku unique, maka disini pun banyak kejadian-kejadian unique yang aku alami. Hehehe

Kisah ini bermula dari pelaporan seorang orang tua murid yang kehilangan sandal anaknya. Di sekolah ku, kami memang tidak mengenakan baju formal layaknya anak-anak yang bersekolah di sekolah konvesional. Dan kami pun tidak mengenakan sepatu. Anak-anak disini terbiasa mengenakan kaos dan celana panjang serta menggunakan sendal jepit. Menurutku ini hal yang menarik, mengapa? Karena memang sejatinya antara manusia yang  satu dan manusia yang lainnya berbeda. Mereka punya potensi yang berbeda, mereka punya bakat yang berbeda, dan mereka punya minat yang berbeda. So, kenapa mereka harus diseragamkan??. #simple

Awalnya, saya pikir kehilangan sendal bagi seorang anak-anak apalagi anak kelas 2 SD itu wajar. Bahkan sangat wajar. Ya, namanya juga anak kecil mereka masih suka meletakkan barangnya di manapun. Namun menjadi tidak wajar ketika seharusnya masalah ‘dimana sandal jepitku’ menjadi sesuatu yang terlalu di dramatisir. Kok di dramatisir??maksudnya apa??bingung kan??

Disini sedikit akan saya uraikan percakapan antara salah satu orang tua muridku dan aku :

A : “ assalamu’alaikum bu, maaf bu sandal Abdul* hilang. Hilangnya sudah dari dzuhur, tapi Abdul  tidak bilang ke wali kelasnya. sampe tadi muter-muter dicari tapi ga ketemu. Tadinya Abdul  ga mau pulang kalo sandalnya ga ketemu. Lah mau sampe kapan nyarinya. Kesel juga saya, bukan masalah sandalnya. Tapi, kebiasaan-kebiasaan kaya gitu ga bener. Iya kalo Cuma sekali. kalo keseringan gimana?? Beli sandal berkali-kali gitu?? Udah lagi temennya cuek banget. Ga ada solidaritasnya. Main aja sendirian. Lah, sandalnya Abdul  diumpetin aja cuek banget. Saya udah bilang sih ke Abdul, ga usah baik-baik sama temen..temen aja belum tentu baik sama kita. Besok-besok  sandalnya disimpen di plastik aja, taruh di tas. “ (Abdul * : bukan  nama sebenarnya)

B: “ wa’alaykumussalam. Istigfar umm. Jika memang kejadiannya seperti itu, nanti akan saya coba tanyakan ke mas Abdul dan ke beberapa teman-temannya. Saat ini saya belum bisa memberikan keputusan siapa yang benar dan siapa yang salah. Mungkin maksud Abdul tidak memberi tahu wlai kelasnya supaya dia bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.”  (dijawab dengan ekspresi bingung, karena pengaduannya berujung pada sebuah bentuk ke kecewaan. Percakapan pun selesai)

Ke-esokkan harinya ....

Aku  mulai mengintrogasi beberapa anak yang memang aku pikir, ini adalah ulah kejahilannya. Dan ternyata tidak ada satu pun yang mengetahui di mana sandal Abdul berada. Aku yakin anak-anak itu tidak berbohong. Karena mereka adalah anak-anak yang manis. Akhirnya aku pun menyudahi  pencarian ‘dimana sandal jepitku’ dengan sebuah kesimpulan  bahwa sandal jepit Abdul HILANG. Ternyata beberapa hari kemudian, sandal bagian kiri Abdul pun terlihat ada di bawah pohon dekat mushola sekolah ku. –“

Ibroh yang bisa saya pelajari dari kejadian ini adalah seharusnya kita bisa menjadi seorang ibu bijak yang dapat mengajarkan kepada anak-anaknya hal positif baik dari segi ucapan maupun tindakan. Bukan bermaksud untuk menggurui . Tapi memang sudah selayaknya sebagai salah satu kewajiban sesama muslim adalah saling nasehat menasehati di dalam kebenaran. Orang tua adalah sebaik-baik teladan bagi anaknya. Anak akan mencontoh apa yang orang tuanya lakukan. Maka bagi orang tua, terapkanlah sikap-sikap yang sehat dan positif di hadapan anak-anak. 

 

-semoga bermanfaat-