cerita ini sengaja ditulis bukan semata-mata untuk
menghakimi seseorang. Cerita ini ditulis sebagai bentuk muhasabah diri saya
pribadi sebagai seorang perempuan yang nantinya kelak akan menjadi sebaik-baik
sekolah pertama untuk anak-anak ke depannya.
Kejadian ini terjadi di sekolah ku. Mungkin karena memang
sekolah ku unique, maka disini pun banyak kejadian-kejadian unique yang aku
alami. Hehehe
Kisah ini bermula dari pelaporan seorang orang tua murid
yang kehilangan sandal anaknya. Di sekolah ku, kami memang tidak mengenakan
baju formal layaknya anak-anak yang bersekolah di sekolah konvesional. Dan kami
pun tidak mengenakan sepatu. Anak-anak disini terbiasa mengenakan kaos dan
celana panjang serta menggunakan sendal jepit. Menurutku ini hal yang menarik,
mengapa? Karena memang sejatinya antara manusia yang satu dan manusia yang lainnya berbeda. Mereka punya
potensi yang berbeda, mereka punya bakat yang berbeda, dan mereka punya minat
yang berbeda. So, kenapa mereka harus diseragamkan??. #simple
Awalnya, saya pikir kehilangan sendal bagi seorang anak-anak
apalagi anak kelas 2 SD itu wajar. Bahkan sangat wajar. Ya, namanya juga anak
kecil mereka masih suka meletakkan barangnya di manapun. Namun menjadi tidak
wajar ketika seharusnya masalah ‘dimana sandal jepitku’ menjadi sesuatu yang
terlalu di dramatisir. Kok di dramatisir??maksudnya apa??bingung kan??
Disini sedikit akan saya uraikan percakapan antara salah satu
orang tua muridku dan aku :
A : “
assalamu’alaikum bu, maaf bu sandal Abdul* hilang. Hilangnya sudah dari dzuhur,
tapi Abdul tidak bilang ke wali
kelasnya. sampe tadi muter-muter dicari tapi ga ketemu. Tadinya Abdul ga mau pulang kalo sandalnya ga ketemu. Lah mau
sampe kapan nyarinya. Kesel juga saya, bukan masalah sandalnya. Tapi,
kebiasaan-kebiasaan kaya gitu ga bener. Iya kalo Cuma sekali. kalo keseringan
gimana?? Beli sandal berkali-kali gitu?? Udah lagi temennya cuek banget. Ga ada
solidaritasnya. Main aja sendirian. Lah, sandalnya Abdul diumpetin aja cuek banget. Saya udah bilang
sih ke Abdul, ga usah baik-baik sama
temen..temen aja belum tentu baik sama kita. Besok-besok sandalnya disimpen di plastik aja, taruh di
tas. “ (Abdul * : bukan nama sebenarnya)
B: “ wa’alaykumussalam.
Istigfar umm. Jika memang kejadiannya seperti itu, nanti akan saya coba
tanyakan ke mas Abdul dan ke beberapa teman-temannya. Saat ini saya belum bisa
memberikan keputusan siapa yang benar dan siapa yang salah. Mungkin maksud
Abdul tidak memberi tahu wlai kelasnya supaya dia bisa menyelesaikan masalahnya
sendiri.” (dijawab dengan ekspresi
bingung, karena pengaduannya berujung pada sebuah bentuk ke kecewaan. Percakapan
pun selesai)
Ke-esokkan
harinya ....
Aku mulai
mengintrogasi beberapa anak yang memang aku pikir, ini adalah ulah
kejahilannya. Dan ternyata tidak ada satu pun yang mengetahui di mana sandal
Abdul berada. Aku yakin anak-anak itu tidak berbohong. Karena mereka adalah
anak-anak yang manis. Akhirnya aku pun menyudahi pencarian ‘dimana sandal jepitku’ dengan
sebuah kesimpulan bahwa sandal jepit
Abdul HILANG. Ternyata beberapa hari kemudian, sandal bagian kiri Abdul pun
terlihat ada di bawah pohon dekat mushola sekolah ku. –“
Ibroh yang bisa saya pelajari dari kejadian ini adalah seharusnya
kita bisa menjadi seorang ibu bijak yang dapat mengajarkan kepada anak-anaknya
hal positif baik dari segi ucapan maupun tindakan. Bukan bermaksud untuk
menggurui . Tapi memang sudah selayaknya sebagai salah satu kewajiban sesama
muslim adalah saling nasehat menasehati di dalam kebenaran. Orang tua adalah
sebaik-baik teladan bagi anaknya. Anak akan mencontoh apa yang orang tuanya
lakukan. Maka bagi orang tua, terapkanlah sikap-sikap yang sehat dan positif di
hadapan anak-anak.